Terik matahari memanggang
tubuhnya. Di atas pasir dengan mata yang silau menatap langit. Setumpuk batu
menindih dadanya membuatnya sulit bernafas lega. “ahad.. ahad..” itulah yang
dia katakan. Kedamaian hati meneguh langkah. Tiada bergeming ia atas fisik yang
terus disiksa.
Lain pula
yang lain. Kekayaan, harta yang melimpah, pakaian yang mahal harganya. Terkenal
pula dengan parfumnya. Sedemikan singkat waktu hingga semua menjadi sirna.
Pakaian yang lusuh, tidak ada lagi parfum. Hingga Rasulullah menetes air matanya
menatapnya. Sebuah konsekuensi pilihannya. Ia bahagia dalam resah pandangan
orang lain.
Ada yang
terus bergelimang emas permata. Semua orang menghormatinya. Ialah tokoh yang
dermawan. Saat tiba waktunya maka semua hartanya ia keluarkan. Maka Sang Junjungan
pun bertanya perihal simpanannya untuk keluarganya, ia hanya menjawab “Cukup
Allah saja bagiku..”
Pernah
juga terdengar. Posisinya paling tinggi dalam “kasta” sosial. Semua masyarakat
tunduk padanya. Semua pasukan taat mendengarkannya. Namun naas, Ia mati dalam
usia muda kepemimpinannya. Terdapatlah kisah, di balik posisi kehormatannya,
seorang rakyat pernah batal meminta jatah zakatnya karena baginya “orang
terhormat” inilah yang lebih pantas menerima zakatnya. Khidmatnya atas rakyat,
menyiksa dirinya. Ya, mati muda!
Ah,
mereka terlalu jauh dalam pusaran masa lalu waktu.
Tapi
masih kujumpai mereka yang baru belajar, kini. Yang meniti jalannya.
***
Sejenak
kita membayangkan begitu bahagianya menjadi orang biasa saja. Biasa dalam
segala hal yang mayoritas. Saat sela waktu kita bersenang-senang, bersendau
gurau. Saat tiba akhir pekan kita berlibur, menikmati indahnya dunia juga
seperti yang lain.
Jatah
waktu tidur bukan lagi seperti mereka yang “patuh” dengan dokter; sebagian.
Yang mengatakan bahwa tidur minimal delapan jam sehari agar kondisi tubuh tetap
fit.
Atau
mungkin kita juga ingin tidak direpotkan dengan ikut memikirkan orang lain
berlebihan. Toh, mengurusi diri sendiri saja belum beres.
Dan bisa
jadi, tidak perlu menghemat jatah makan “enak” hanya demi biaya-biaya yang
seharusnya tidak perlu kita tanggung. mengeluarkan biaya yang sepertinya tidak
layak untuk disebut menyisihkan.
Itulah
manusiawinya. Merdeka secara naluri. Berjalan bahkan berlari kapan dan dimana
saja kita mau. Hingga akhirnya tiba pada satu titik yang seolah menjadi
“penjara” bagi dunia kita yang terlalu luas. Setidaknya itu yang orang di
sekelilingmu berikan tanggapan. “hidupmu freak!” “terlalu kaku!” “kuno” atau
mungkin “jumud”
Engkau
terpaksa mengorbankan dirimu. Siksaan-siksaan batin lewat ke-aku-an yang
terbelenggu oleh “bagaimana memang seharusnya diri”. Engkau ingin berteriak,
rasanya semakin berat.
Saat
tanggungan bersama menumpuk. Lagi-lagi yang lain satu per satu menepi.
Tingggallah engkau beberapa saja. Terus berjalan, sedikit melambat sepertinya.
Engkau tahan amarahmu, menyesakkan perasaanmu.
Lagi-lagi
itulah konsekuensi. Itulah takdir kepahlawanan. Di saat semua berjalan-berlari
terus mengejar haknya. Maka sebagian orang harus rela menanggung kewajibannya.
Banyak yang meminta cahaya, tapi hanya sedikit yang ingin menjadi lampu.
Kelelahan,
kejenuhan, berat menanggung beban. Tidak perlu dipoles karena memang begitulah
adanya. Luka pada tubuh tidak perlu ditanyakan karena ia pasti perih.
Lantas ke
mana ini semua berujung? Cukuplah janji-Nya yang menenangkan, cukuplah ketaatan
yang menentramkan. Engkau yakini ini untuk-Nya, berbahagialah atasnya. Setiap
keluh kesah himpitan sesak “siksaan” inilah ujian cinta yang sebenarnya.
Seperti itulah Bilal bin Rabah, Mus’ab bin Umair, Abu Bakar, dan Umar bin Abdul
Aziz.
“Jika
Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba maka dia akan
mempekerjakan/menggunakannya”, beliau ditanya, “Bagaimana Allah akan
mempekerjakannya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau
menjawab: “Allah akan memberinya petunjuk untuk beramal shalih sebelum
meninggal”.
Karenanya.
Cintailah jalanmu karena Allah sedang menuntunmu berjalan kepada-Nya. []
http://www.bersamadakwah.com/2013/10/cintailah-jalanmu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar